
Tabalong, Kalimantan Selatan – 17 Juni 2025, Di tengah era digital dan pesatnya perkembangan gaya hidup modern, ketika banyak generasi muda memilih membangun karier di kota besar, terdapat kisah inspiratif dari seorang alumni Institut Daarul Quran (IDAQU) Jakarta yang justru memutuskan untuk kembali ke akar – membaktikan diri di tengah masyarakat tempat ia tumbuh. Ia adalah Nurul Suharti, lulusan yang kini mengabdikan hidupnya sebagai pengajar Al-Qur’an di kampung halamannya, Desa Palapi, Kecamatan Muara Uya, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Keputusan Nurul untuk tidak ikut arus zaman bukanlah karena keterbatasan pilihan, melainkan sebuah langkah penuh kesadaran dan keikhlasan. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi di IDAQU – sebuah institusi yang dikenal sebagai pelopor kampus berbasis Al-Qur’an – Nurul merasa bahwa ilmu yang ia dapatkan tidak cukup hanya disimpan dalam gelar, tetapi harus menjadi cahaya yang menerangi kehidupan orang lain.
Menghidupkan Cahaya Al-Qur’an di Pelosok Negeri
Dengan semangat dakwah dan cinta kepada Al-Qur’an, Nurul memulai langkahnya di Desa Palapi dengan cara yang sederhana. Ia membuka kelas tahsin dan tahfizh untuk anak-anak, remaja. Tempat belajar pun tak terbatas – kadang di musala, kadang di rumah. Yang terpenting adalah keistiqamahan menyebarkan ilmu, meski tanpa fasilitas lengkap.
Di desa yang minim akses terhadap pendidikan keislaman formal dan modern, kehadiran Nurul menjadi angin segar. Ia membimbing anak-anak dalam membaca Al-Qur’an dengan tartil, menghafal ayat demi ayat, dan memahami maknanya. Ia juga menanamkan adab dan nilai-nilai Qur’ani dalam keseharian mereka. Lebih dari sekadar mengajar, Nurul menjadi sosok kakak, guru, dan teladan bagi generasi muda di lingkungannya.

Pilihan Hidup yang Berbeda, Tapi Penuh Makna
Di saat banyak orang seusianya lebih memilih pekerjaan kantoran dengan rutinitas stabil, Nurul memilih jalan yang tidak biasa. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah semata soal materi, tapi tentang kebermanfaatan. Ketika banyak lulusan perguruan tinggi Islam berlomba memasuki sektor formal di kota, ia justru menjawab panggilan sunyi dari desa — membangun generasi Qur’ani dari akar rumput.
Keputusan ini menjadi refleksi dari filosofi pendidikan yang ia serap selama berkuliah di IDAQU Jakarta, yang tidak hanya menekankan kecerdasan akademik tetapi juga pembentukan karakter, penguatan spiritualitas, dan pengabdian sosial. Baginya, Al-Qur’an bukan sekadar hafalan, melainkan sumber nilai kehidupan dan bekal untuk menata peradaban.

Dampak yang Mulai Terlihat
Meski baru beberapa waktu berjalan, hasil dari perjuangan Nurul mulai tampak. Anak-anak yang dulunya kesulitan membaca Al-Qur’an kini mulai lancar, bahkan beberapa sudah mampu menghafal beberapa juz. Orang tua pun merasakan perubahan sikap dalam diri anak-anak mereka, yang kini lebih sopan, berakhlak, dan rajin beribadah. Kegiatan belajar yang semula kecil perlahan berkembang menjadi gerakan bersama yang didukung penuh oleh masyarakat. Baginya, tugas seorang alumni bukan hanya mengajar, tapi juga membangun ekosistem Qur’ani yang berkelanjutan di mana pun ia berada dengan terus memaksimalkan potensi-potensi yang ada di desanya.
Cerminan Nilai-Nilai IDAQU dalam Praktik Nyata
Kisah Nurul Suharti adalah potret nyata dari semangat “Qur’ani, Akademis, Kontributif” yang diusung oleh IDAQU. Ia membuktikan bahwa lulusan perguruan tinggi Islam tidak harus selalu berada di balik meja kantor atau mengejar popularitas akademik, tetapi bisa mengambil peran di tengah masyarakat — menjadi pelita di tempat yang jauh dari sorotan. Sekarang Nurul Suharti juga sedang melanjutkan pendidikannya di IIQ (Institut Ilmu Al-Quran) Jurusan Ilmu AL-Quran dan Tafsir guna terus memperluas wawasan dan relasinya. Langkahnya menjadi inspirasi bagi banyak mahasiswa dan alumni lainnya untuk tidak melupakan akar, dan terus menjaga semangat pengabdian dengan rendah hati. Sebab, sejatinya ilmu bukanlah untuk dibanggakan, tetapi untuk diamalkan.