
Tangerang, 15 Juni 2025 — Di tengah gegap gempita perhelatan Wisuda Tahfizh Nasional (WTN) 2025, ada kisah inspiratif dari salah satu peserta yang tidak hanya menuntaskan hafalan Al-Qur’an, tetapi juga berhasil menorehkan prestasi istimewa dalam bidang seni warisan Islam: kaligrafi Arab. Ia adalah Karin Oktatiyana, mahasiswi Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) angkatan ke-3 Institut Daarul Qur’an (IDAQU), yang berhasil mendapatkan sanad kaligrafi Diwani dan Diwani Jaly, dua gaya tulisan yang sangat prestisius dan menantang dalam dunia khath Arab.
Dari Rasa Coba-Coba Menjadi Jalan Hidup
Berangkat dari Palembang, Karin tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan mendalami kaligrafi hingga sejauh ini. Ia mengaku bahwa awalnya hanya sekadar iseng ikut kelas kaligrafi karena ada kuota terbatas di asrama. Namun siapa sangka, proses yang berawal dari rasa coba-coba itu justru membawanya pada kecintaan yang mendalam terhadap seni menulis huruf-huruf indah warisan Islam.
“Waktu itu hanya lima orang yang bisa ikut kelas kaligrafi, dan saya salah satu yang mendaftar. Awalnya cuma ingin coba-coba, tapi makin dijalani, makin suka. Apalagi saat tahu kita bisa belajar langsung dengan Syekh Belaid Hamidi,” ungkapnya penuh syukur.
Bertemu Guru Istimewa, Meraih Ilmu Kehidupan
Perjumpaannya dengan Syekh Belaid Hamidi menjadi titik balik penting. Sosok kaligrafer internasional itu dikenal tidak hanya sebagai guru kaligrafi, tetapi juga pendidik ruhani. Karin mengaku bahwa ilmu yang ia dapatkan tidak sebatas bagaimana membentuk huruf, tetapi juga nilai-nilai kehidupan.
“Syekh tidak hanya mengajari teknik menulis, tapi juga membentuk karakter. Kami diajarkan untuk sabar, jujur, teliti, dan konsisten. Belajar kaligrafi dengan beliau bukan hanya soal pena dan tinta, tapi tentang bagaimana mengendalikan diri dan mengasah batin,” tutur Karin.
Selain itu, ia juga merasa bersyukur bisa belajar dalam suasana yang suportif bersama Ustadz Alim Gema, Umma Novita, dan teman-teman satu komunitas kaligrafi yang selalu saling menyemangati.
Kesabaran, Air Mata, dan Konsistensi
Belajar kaligrafi bukanlah perkara mudah. Karin menyebutkan bahwa proses mempelajari huruf demi huruf penuh dengan ujian mental. Pernah ia merasa frustrasi hanya karena tidak menemukan bentuk “sela” atau alur yang pas dalam menulis suatu huruf.
“Belum afdol kalau belum pernah bad mood atau nangis gara-gara nulis huruf. Tapi justru dari situ saya belajar sabar dan terus mencoba meskipun sambil nangis. Terutama ketika menulis Diwani Jaly, itu sangat-sangat sulit. Setiap lekuk huruf menuntut ketelitian dan jiwa yang tenang,” ujarnya.
Apa Itu Sanad Kaligrafi?
Sanad dalam dunia kaligrafi adalah semacam ijazah resmi yang diberikan oleh seorang guru (musnid) kepada murid yang telah melewati proses pembelajaran secara menyeluruh dan tuntas. Di bawah bimbingan Syekh Belaid Hamidi, Karin menjalani proses yang ketat dimulai dari pembelajaran bentuk huruf, sambungan antarhuruf, hingga penulisan teks ijazah secara utuh.
Karin menjelaskan bahwa setiap karya harus ditulis berdasarkan contoh, dikoreksi langsung oleh Syekh, dan jika dianggap layak, barulah disahkan melalui proses tauqi (pengesahan). “Proses terakhir adalah menulis dengan kertas muqohhar kertas khusus yang dilapisi putih telur dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Saat itulah cobaan dan ujian terbesar muncul,” ungkapnya.
Sanad, Bukan Akhir Perjalanan
Mendapatkan sanad bukan berarti selesai. Justru bagi Karin, inilah awal tanggung jawab besar: menyebarkan keindahan Islam melalui seni tulis yang luhur ini. Ia berharap bisa terus berkarya dan berbagi ilmu kepada masyarakat luas, khususnya generasi muda.
“Sanad ini bukan puncak. Ini adalah amanah. Bagaimana saya bisa memanfaatkan ilmu yang Allah titipkan untuk menyebarkan keindahan Islam lewat kaligrafi. Semoga saya bisa terus berkarya dan mengajar,” katanya penuh semangat.
Karin juga menitipkan pesan bagi siapa pun yang tertarik memulai belajar kaligrafi, tetapi masih ragu. “Kalau kamu terbersit ingin mencoba hal baik, cepat ambil. Jangan takut karena merasa tidak berbakat. Saya pun dulu tidak tahu apa-apa tentang kaligrafi. Tapi jika kamu serius dan sabar, insyaAllah akan bisa,” ujarnya menutup dengan senyum.
Kisah Karin Oktatiyana adalah cermin bahwa proses, kesabaran, dan ketekunan bisa menumbuhkan prestasi yang luar biasa. Dari langkah kecil mencoba-coba, hingga akhirnya dipercaya menerima sanad langsung dari kaligrafer internasional, ia membuktikan bahwa seni kaligrafi bukan hanya warisan budaya, tetapi juga jalan dakwah dan sarana membentuk karakter Islami. Semoga akan lahir lebih banyak lagi generasi Qur’ani dari IDAQU yang membawa misi keindahan Islam melalui goresan tinta dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.