Ditulis oleh Feny Nida Fitriyani, M.Pd selaku Dosen Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Institut Daarul Qur’an.
Kasus Kekerasan Anak karena Enggan Belajar
Akhir-akhir ini berita tentang kekerasan pada anak santer diberitakan di berbagai media masa. Kasus terbaru adalah ditemukannya pemakaman misterius oleh warga di TPU Gunung Kendeng, Lebak, Banten. Fakta dari kasus ini adalah penganiayaan yang mengakibatkan kematian pada seorang anak berusia 8 tahun oleh ibunya sendiri di rumah kontrakannya di Kelurahan Kreo, Kecamatan Larangan Kota Tangerang dan jasad bocah tersebut dikubur tanpa kain kafan oleh orang tuanya sendiri.
Spekulasi yang beredar tentang motif penganiayaan yang mengakibatkan kematian pada korban yaitu bermula dari sang ibu yang tidak sabar mengajari korban yang berusia 8 tahun dan masih duduk di kelas 1 SD. Ibu tersebut lalu melakukan kekerasan fisik mulai dari mencubit hingga memukul kepala belakang si anak menggunakan sapu hingga akhirnya meninggal dunia.
Hal yang ingin saya soroti dalam kejadian pembunuhan ini adalah tentang keengganan anak untuk belajar. Keengganan anak atau ketidakmauan anak untuk belajar tidak disebabkan karena anak bodoh. Karena sejatinya setiap anak memiliki kecerdasannya masing-masing.
Howard Gardner dalam teori Multiple Intelligence (MI) nya menjelaskan bahwa anak memiliki potensi dalam dirinya. Begitu juga hal yang sama dijelaskan juga oleh pakar Multiple Intelligence yang ada di Indonesia yaitu Munif Chatib. Kedua pakar tersebut sepakat bahwa tidak ada anak yang dilahirkan tanpa memiliki kecerdasan dalam dirinya.
Selain itu, tokoh pendidikan anak seperti Maria Montessoripun menyebutkan bahwa sejak lahir anak-anak telah memiliki potensi dalam dirinya. Potensi-potensi tersebut akan menghilang seiring waktu apabila tidak dikembangkan dengan baik.
Menilik dari berbagai pernyataan pakar tentang potensi dan kecerdasan anak, maka dapat disimpulkan bahwa memang benar setiap anak yang dilahirkan memiliki potensi kecerdasannya masing-masing. Dan selama ini, pemahaman yang ada di benak masyarakat Indonesia adalah mengagungkan dan terfokus hanya pada kecerdasan kognitif saja. Pemahaman ini menyebabkan pemberian label atau cap “bodoh” pada anak yang sering kita dengar di masyarakat.
Orang tua sejak kecil akan menanamkan nilai adalah segalanya. Nilai yang baik akan berdampak pada peringkat anak tersebut di kelas. Peringkat atau rangking ini menjadi kebanggaan tersendiri untuk orang tua, sehingga orang tua sering memaksakan anak untuk terus belajar agar mendapatkan rangking.
Dari contoh kasus pembunuhan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa orang tua kesal kalo anaknya tidak mau belajar. Padahal anak-anak pasti mempunyai alasan kenapa ia enggan belajar. Mungkin dari suasana belajar, orang yang mendampingi, atau si anak mempunyai interest atau ketertarikan lain. Disini orang tua harus memahami kemauan anak dan kemampuan anak. Sebaiknya orang tua perlu mendukung apa yang menjadi fokus dan keinginan dari anak.
Nah, untuk itu sebaiknya orang tua atau orang dewasa yang notabene sebagai pendamping anak saat belajar harus memahami tentang kecerdasan anak. Ternyata kecerdasan itu tidak hanya ada kecerdasan kognitif saja, melainkan masih ada banyak yang lain yang mungkin belum kita ketahui. Berikut ini adalah 8 kecerdasan dari Howard Gardner yang mesti kita ketahui.
Mengenal Multiple Intelligences lebih dekat
Multiple intelligences (kecerdasan majemuk) adalah berbagai keterampilan dan bakat yang dimiliki siswa. Gardner menemukan delapan macam kecerdasan majemuk, yakni: (1) kecerdasan verbal-linguistik; (2) logika-matematik; (3) visual-spasial; (4) berirama-musik; (5) jasmaniah-kinestetik; (6) interpersonal; (7) intrapersonal; dan (8) naturalistik.
Word Smart : Kecerdasan kata/ Linguistic, Logic Smart : Kecerdasan Logika/ Matematis Logis, Picture Smart: Kecerdasan Gambar/ Spasial, Body Smart: Kecerdasan Tubuh/ Kinestetik, Music Smart: Kecerdasan Musikal, People Smart: Kecerdasan Sosial (Interpersonal), Self Smart: Kecerdasan Pribadi (Intrapersonal), Nature Smart: Kecerdasan alam/ naturalis.
Berikut ini akan dijabarkan lebih lanjut tentang teori kecerdasan multiple yang terdiri dari 8 jenis kecerdasan oleh Howard Gardner.
No. | Nama Kecerdasan | Keterangan |
1. | Linguistik | Kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik lisan (misalnya: orator, pendongeng, atau politisi) maupun tulisan (misalnya: penyair, penulis naskah drama, editor, dan jurnalis). Misalnya : Virginia Woolf, Martin Luther King Jr. |
2. | Logis-Matematis | Kemampuan menggunakan angka secara efektif (misalnya: ahli matematika, akuntan pajak, atau ahli statistik) dan untuk alasan yang baik (misalnya: ilmuwan, pemrogram computer, atau ahli logika). Misalnya: Madam Curie, Blaise Pascal. |
3. | Spasial | Kemampuan untuk memahami dunia visual-spasial secara akurat (misalnya: pemburu, pramuka, atau pemandu) dan melakukan perubahan-perubahan pada persepsi tersebut (misalnya: dekorator interior, arsitek, seniman, dan penemu). Misalnya : Frida Kahlo, I.M. Pei. |
4. | Kinestetik-tubuh | Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide-ide dan perasaan-perasaan (misalnya: actor, pemain pantomim, atlet, atau penari) dan kelincahan dalam menggunakan tangan seseorang untuk menciptakan atau mengubah sesuatu (misalnya: perajin, pematung, mekanik, atau ahli bedah). Misalnya: Martha Graham, Auguste Rodin. |
5. | Musikal | Kemampuan untuk merasakan (misalnya: penikmat musik), membedakan (misalnya: kritikus musik), mengubah (misalnya: komposer), dan mengekspresikan (misalnya: performer atau pemain musik) bentuk-bentuk musik. Misalnya: Stevie Wonder |
6. | Interpersonal | Kemampuan untuk memahami dan membuat perbedaan-perbedaan pada susasana hati, maksud, motivasi, dan perasaan terhadap orang lain. Misalnya: Carl Roger, Nelson Mandela |
7. | Intrapersonal | Pengetahuan diri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan pengetahuan itu. Misalnya : Sigmud Freud |
8. | Naturalis | Keahlian dalam mengenali dan mengklasifikasikan berbagai spesies flora dan fauna, dari sebuah lingkungan individu. Misalnya : Charles Darwin[1] |
Multiple intelligences mempunyai metode discovering ability, artinya proses menemukan kemampuan seseorang. Metode ini meyakini bahwa setiap orang pasti memiliki kecenderungan jenis kecerdasan tertentu. Kecenderungan tersebut harus ditemukan melalui pencarian kecerdasan. Dalam teori multiple intelligences menyarankan kepada kita untuk mempromosikan kemampuan atau kelebihan dan mengubur kelemahan kita. Proses menemukan inilah yang menjadi sumber kecerdasan seorang anak. Dalam menemukan kecerdasan, seorang anak harus dibantu oleh lingkungan, orang tua, guru, sekolah, maupun sistem pendidikannya.
Penjelasan tentang Multiple Intellegence ini dapat disimpulkan bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda antara satu anak dengan anak yang lain. Sehingga, orang tua, guru, dan masyarakat tidak boleh menjudge anak itu “bodoh”. Sebaliknya, pihak-pihak tersebut harus mendukung dan membantu anak menemukan kecerdasan mereka.
Belajar di Masa Pandemi
Belajar di masa pandemi menjadi tantangan tersendiri, khusunya orang tua. Orang tua kini tidak hanya berperan mendukung anak saja tapi juga mendampingi anak belajar online. Orang tua sebagai pihak yang lebih dewasa sebaiknya mengerti akan kebutuhan belajar anak.
Sejatinya, anak-anak belajar tujuannya adalah adanya perubahan, sehingga anak akan siap menghadapi masa depannya kelak. Orang tua jangan berpikir belajar dengan tujuan mengharap nilai kognitif semata.
Pemahaman yang baik dari orang tua pada anak akan memberikan dampak yang positif. Ketika anak enggan belajar, maka sebaiknya orang tua menahan amarah dan mencari tahu sebab anak enggan untuk belajar. Apabila masih belum paham, maka komunikasikan masalah tersebut dengan guru, bagaimana sebaiknya orang tua dan guru bertindak. Selain itu, orang tua juga tidak asal member cap bodoh pada anak, karena member cap/ label bodoh pada anak akan berdampak pada psikis anak yaitu anak menjadi tidak percaya diri, merasa tidak bisa, dan selalu rendah diri.
Sebagai orang tua, pastinya kita tidak ingin mengorbankan masa depan anak-anak kita dengan kesalahan-kesalahan kecil baik disengaja atau tidak sengaja. Oleh karena itu, mari mulai saat ini belajar untuk lebih memahami anak. Orang tua bisa mencari berbagai referensi mulai dari membaca buku, mengikuti seminar parenting, membaca artikel maupun berdiskusi dengan ahli. Pemahaman dan dukungan yang baik dari orang tua maupun orang dewasa akan membantu anak meraih masa depan terbaiknya.
[1]Thomas Armstrong, Kecerdasan Multipel di dalam Kelas,( Jakarta: Indeks, 2013), hlm. 6-7.