Ditulis oleh Nur Azmi Wiantina, M.Pd selaku Dosen Bimbingan Konseling Pendidikan Islam (BKPI) Institut Daarul Qur’an
Kita semakin sering melihat dan mendengar mengenai “bullying”, entah itu melalui berita di TV maupun media sosial. Tak jarang persoalan bullying juga dijadikan tema major ataupun minor dalam cerita fiksi dan drama, tanpa mempertimbangkan apa dampak negatif pemaparan adegan bullying bagi penonton. Beberapa waktu lalu, kita jumpai berita mengenai seorang siswi SMA di Jakarta yang menjadi korban bullying, dilecehkan oleh teman-teman kelasnya, ada juga anak SD yang sampai diopname di rumah sakit karena menjadi korban bullying, lalu ada siswa SMP di Malang yang jari tangannya sampai diamputasi karena dibully oleh 7 orang temannya di sekolah, ada juga artis Korea Selatan yang bunuh diri karena cyberbullying, dan masih banyak lagi kasus bullying yang kita jumpai sehari-hari.
Cobalah perhatikan di sekitar kita, di lingkungan terdekat kita, apakah lingkungan terdekat kita sudah terbebas dari bullying? Ataukah ada, tanpa kita sadari, bullying-bullying yang terjadi di lingkungan terdekat kita, meskipun bukan secara fisik, melainkan secara relasional?
Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan bullying? Apa saja yang termasuk ke dalam bullying? Mengapa bullying semakin sering terjadi di sekitar kita? Bagaimanakah bullying ditinjau dari psikologi kepribadian? Apa dampak psikologis bagi korban maupun pelaku bullying? Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi dan mencegah bullying?
Bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu perilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan, perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu, dan adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat. Ada berbagai macam bentuk bullying, diantaranya adalah bullying secara fisik, bullying secara verbal, bullying secara relasional, dan cyberbullying.
Bullying secara fisik merupakan jenis bullying yang paling tampak dan paling dapat diidentifikasi diantara bentuk-bentuk bullying lainnya. Jenis bullying secara fisik diantaranya adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, meludahi, merusak dan menghancurkan pakaian ataupun barang milik korban, serta bentuk-bentuk kekerasan fisik lainnya. Bullying verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan, pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, telepon yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji, dan gosip. Bullying relasional adalah pelemahan harga diri korban, pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran. Lalu cyberbullying adalah bullying yang dilakukan di dunia maya, misalnya korban terus menerus mendapatkan pesan negatif dari pelaku bullying baik melalui pesan whatsapp, line, telegram, facebook, instagram, dan media sosial lainnya.
Mengapa bullying terjadi? Ada banyak faktor yang memicu, diantaranya adalah pengaruh lingkungan, dalam banyak kasus dijumpai seseorang menjadi pelaku bullying karena ikut-ikutan teman, karena tidak mau dianggap lemah oleh teman satu kelompoknya. Hal ini berkaitan dengan harga diri, eksistensi diri, dan pengakuan dalam kelompok, terutama apabila pelaku adalah remaja. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berkumpul ataupun berinteraksi bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengekspresikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap, penampilan, dan perilaku. Apabila remaja bergaul dengan teman-teman sebayanya yang melakukan bullying, maka kemungkinan besar akan terpengaruh, ikut-ikutan menjadi pelaku bullying.
Faktor lain yang memicu seseorang menjadi pelaku bullying adalah kurang baiknya hubungan dengan orangtua dan keluarga. Seseorang yang dalam lingkungan keluarganya kurang mendapatkan perhatian, kemungkinan akan mencari perhatian lain di luar lingkungan keluarga, salah satunya adalah dengan menjadi pelaku bullying. Kekerasan fisik yang pernah dialami seorang anak dalam keluarga juga dapat menjadi salah satu pemicu bagi anak tersebut untuk menjadi pelaku bullying.
Olweus mengidentifikasi 2 jenis pelaku bullying : si agresif (the aggressive) dan si cemas (the anxious). Pelaku bullying agresif bersifat aktif, impulsif, asertif, kuat, dan mudah diprovokasi. Pelaku bullying yang agresif memimpin agresi dan biasanya mencari anggota untuk mengikuti perintahnya, untuk sama-sama melakukan bullying. Pelaku bullying yang agresif ini memiliki skill dalam menghindari kesalahan, tidak merasakan penyesalan, dan tidak merasa empati terhadap korbannya. Sementara itu, pelaku bullying yang cemas (anxious) jarang memulai bullying, biasanya melakukan bullying atas perintah pelaku bullying agresif. Pelaku bullying anxious memiliki karakter antara lain self-esteem yang rendah, kurangnya percaya diri, dan gangguan marah. Pelaku bullying anxious mengikuti perintah pelaku bullying agresif untuk mengkompensasi perasaan kurang mengenai dirinya sendiri, dan mencari pengakuan dari pelaku bullying agresif.
Dilihat dari pandangan psikologi kepribadian, pelaku bullying memiliki skor psychoticism yang tinggi. Psychoticism merupakan dimensi utama yang ke-3, yang diusulkan oleh Hans Eysenck. Orang yang memiliki skor P tinggi cenderung untuk bermusuhan / berseteru dan dianggap aneh oleh orang lain. Individu yang memiliki psychoticism bukan berarti individu tersebut orang gila (psychotic) atau menuju ke arah sana. Individu yang memiliki psychoticism yang tinggi ditunjukkan dengan sikap-sikap seperti sembrono, bersikap acuh tak acuh, dan menunjukkan ekspresi emosi yang tidak tepat/tidak pantas. Dimensi kepribadian ini memisahkan individu dari institusi masyarakat. Orang-orang yang memiliki skor psychoticism tinggi memiliki karakteristik lebih impulsif, bermusuhan, sadis, dan tidak empati dibanding orang-orang yang memiliki skor pyschoticism rendah.
Menurut teori psikoanalisis Freud, agresi atau dorongan agresif (aggressive drive) termasuk ke dalam insting mati (death instinct), terkadang disebut insting menghancurkan (destructive instinct). Menurut Freud, manusia terikat dalam perilaku menghancurkan dan kekerasan. Demi memelihara organisme, insting hidup (life instinct) secara umum melawan insting mati (death instinct) dan mengeluarkan energinya, melawan orang lain. Seperti teori psikoanalitik, Dollard dan Miller juga mempertimbangkan bahwa 6 tahun pertama kehidupan manusia sangatlah penting dalam menentukan tingkah laku manusia saat dewasa. Menurut Dollard dan Miller, salah satu penyebab yang mengakibatkan adanya konflik dan gangguan emosional adalah pelatihan mengelola kemarahan dan agresi saat 6 tahun pertama kehidupan manusia. Konflik yang dipelajari adalah self-assertion vs ketidaksetujuan, hukuman, dan penolakan.
Menurut teori social learning Bandura dan Mischel, manusia memperoleh respon agresif dengan cara yang sama dengan bagaimana mereka memperoleh bentuk tingkah laku sosial kompleks lainnya, baik melalui pengalaman langsung maupun mengobservasi orang lain. Self-concept juga berpengaruh terhadap alasan mengapa seseorang melakukan bullying atau menjadi korban bullying. Peran self-concept dapat memberikan gambaran atas alasan mengapa ada siswa yang selalu melakukan bullying dan mengapa ada siswa yang selalu menjadi korban bullying. Pelaku bullying tidak memiliki nilai self-concept yang positif melalui kompetensi dan prestasi baik di sekolah, akan tetapi mereka mengorganisasikan self-esteem nya atas kekuatan, kekuasaan, dan superioritas secara fisik terhadap orang lain. Membahayakan orang lain mungkin menjadi cara untuk menegaskan kembali self-identity-nya dan mengkompensasi frustrasi-nya terhadap hal lain, untuk melindungi dan meningkatkan self-concept dirinya.
Apa dampak bullying? Bullying yang mengakibatkan intimidasi emosional ataupun fisik berhubungan erat dengan sejumlah masalah kesehatan mental dan dipertimbangkan menjadi salah satu masalah utama kesehatan yang dihadapi oleh remaja. Banyak orangtua, guru, dan konselor yang merasa sangat khawatir mengenai bullying, karena anak-anak yang menampilkan keagresifan terhadap kelompoknya biasanya akan terus berada dalam pola ini. Tidak hanya tingkah laku mengganggu yang dihasilkan karena penolakan teman sebaya tapi juga termasuk kesulitan akademik, labeling negatif oleh guru, dan hancurnya self-concept. Banyak dari masalah ini berlanjut ke masa dewasa. Anak dan remaja yang selalu terkait dengan bullying kemungkinan besar akan mengalami kesehatan fisik yang buruk saat masa dewasa, depresi, masalah hubungan sexual, terlibat dalam perilaku kriminal, dan berada dalam kelas sosioekonomi rendah. Beberapa studi empirik telah menunjukkan kaitan antara ide bunuh diri dengan pengalaman pada remaja yang menjadi korban bullying maupun pelaku bullying, baik itu bullying yang dilakukan secara fisik, verbal, relasional, maupun cyberbullying.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengatasi bullying? Bisa dimulai dari menjaga hubungan yang baik di lingkungan keluarga kita sendiri, lebih memperhatikan setiap anggota keluarga kita, bersikap saling terbuka dan saling percaya. Kita juga bisa mengedukasi anak remaja mengenai boundary, batasan-batasan, baik itu batasan diri, maupun batasan dalam pergaulan. Tontonan sehari-hari, games yang dimainkan, buku yang dibaca, juga bisa menjadi salah satu cara untuk mengedukasi anak. Dampingi anak ketika menonton film-film yang mengandung unsur kekerasan. Beri pemahaman kepada anak bagaimana untuk menjadi kuat dan merasa hebat tanpa melemahkan orang lain.
Strategi-strategi intervensi yang bertujuan untuk menangani bullying di sekolah dan menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman dapat dilihat sebagai sebuah tindakan moral yang sangat penting. Diperlukan usaha untuk mengimplementasikan program yang efektif bagi pelaku maupun korban bullying. Program bisa berupa pelatihan skill bagi tiap individu (pelaku ataupun korban). Family-based programs mungkin juga bisa bermanfaat dalam memutus mata rantai keberlanjutan agresi dan bullying antar generasi.
Salah satu pendekatan yang bisa digunakan antara lain pendekatan berorientasi keluarga, yang pertama-tama mengidentifikasi penyebab utama yang berkontribusi terhadap perilaku delinquent dan kejam individu yang sedang menjalani treatment. Faktor biologis, sekolah, pekerjaan, teman sebaya, keluarga, dan tetangga juga diidentifikasi. Intervensi kemudian disesuaikan agar sesuai dengan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap individu tersebut.
Salah satu peneliti pendidikan, Sanchez, mengusulkan kurikulum sekolah yang terdiri dari 11 sesi kurikulum yang terdiri dari role-playing, diskusi kelompok, olahraga, menulis, dan seni untuk memfasilitasi perbedaan tertentu siswa di antara batas mana yang pantas dengan yang tidak pantas, dan antara perilaku bercanda dengan perilaku menyakitkan. Program ini disebut Expect Respect Program : sebuah pendekatan menyeluruh di sekolah (a-whole school approach) terhadap bullying, kekerasan sexual, dan kekerasan gender. Konselor juga dapat mengembangkan program dengan 3 tujuan utama yaitu mengubah sikap mengenai interaksi siswa, meningkatkan pengetahuan mengenai teknik tanpa kekerasan dalam mengatasi masalah, dan membina perilaku yang dapat menolong siswa membuat resolusi konflik menjadi sebuah tindakan. Diperlukan kerjasama antara keluarga, masyarakat, sekolah, bahkan pemerintah dalam mencegah dan mengatasi kasus bullying. Bila tontonan dan games yang mengandung unsur kekerasan sulit untuk kita kendalikan, apalagi dengan semakin canggihnya teknologi saat ini, anak dapat mengakses apapun dan di manapun hanya dengan berbekal ponsel dan jaringan internet, maka mulailah mencegah anak agar tidak menjadi pelaku maupun korban bullying salah satunya adalah dengan cara membangun konsep diri yang positif.