
Tangerang, 18 Juni 2025 — Dalam suasana haru dan khidmat Wisuda Tahfizh Nasional (WTN) 2025 yang digelar oleh Institut Daarul Qur’an (IDAQU), bukan hanya lantunan hafalan yang menggema, tapi juga semangat pelestarian warisan Islam yang ditorehkan dengan tinta dan pena. Salah satunya datang dari Adillah Zahra, mahasiswi Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) angkatan 2021 asal Kepulauan Bangka Belitung, yang secara resmi menerima sanad kaligrafi Diwani Jaly, menjadi bagian dari mata rantai sanad keilmuan khath Arab klasik yang sangat bernilai.
Dari Agenda Asrama ke Cinta Sejati
Ketertarikan Adillah terhadap kaligrafi berawal dari program asrama. Tanpa latar belakang khusus di bidang ini, ia mengikuti kelas dars kaligrafi yang dibimbing langsung oleh Syekh Belaid Hamidi, kaligrafer internasional asal Maroko yang telah menulis delapan mushaf Al-Qur’an dan menjadi salah satu otoritas tertinggi dalam seni khath saat ini.
“Awalnya hanya mengikuti kegiatan rutin asrama, tapi dari situlah saya mulai mengenal dan akhirnya menekuni kaligrafi. Sekarang saya merasa punya tanggung jawab untuk terus menjaga dan menghidupkan amanah ini, apalagi setelah mendapatkan sanad,” ujar Adillah.

Bertahan Karena Amanah
Bagi Adillah, keputusan untuk tetap konsisten di dunia kaligrafi bukan semata karena minat pribadi. Ada amanah besar yang ia rasakan setelah diberikan kepercayaan belajar langsung dengan guru besar seperti Syekh Belaid Hamidi. Kepercayaan itu mendorongnya untuk bersungguh-sungguh, belajar dengan sabar, dan suatu saat nanti menyebarkan ilmu itu kembali pada masyarakat.
“Sanad bukan sekadar ijazah. Itu adalah pertanda kita telah menerima ilmu secara utuh dan harus meneruskannya,” tambahnya.
Ketekunan Menembus Batas
Belajar kaligrafi adalah proses panjang yang penuh tantangan. Setiap huruf dan gaya tulisan memiliki kaidah masing-masing yang harus dipatuhi dengan cermat. Adillah mengaku pernah mengalami kesulitan ketika menghadapi detail-detail kecil yang menjadi penentu kualitas tulisan.
Saat ini, ia sedang mempelajari khat Naskh, jenis tulisan yang digunakan dalam penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Menurutnya, khat ini sangat menuntut presisi tinggi. “Kesalahan kecil pun bisa berdampak besar. Itu sebabnya belajar khat Naskh butuh lebih banyak kesabaran dan ketelitian,” katanya.
Memahami Sanad Kaligrafi
Sanad dalam kaligrafi adalah tanda otentik keilmuan, sebuah bukti bahwa seseorang telah belajar dari seorang guru yang tersambung sanadnya hingga ke generasi kaligrafer klasik. Dalam hal ini, Adillah mempelajari metode Manhaj Hamidi, sebuah pendekatan pembelajaran kaligrafi yang dirancang oleh Syekh Belaid Hamidi sebagai bentuk penyempurnaan dari metode klasik taqlidi.
“Metode ini memudahkan pemula belajar dengan tahapan yang runtut dan sistematis. Kami belajar dari kitab khusus kaligrafi dan mengakhiri dengan penulisan ijazah secara resmi,” jelasnya.
Puncak dari proses itu adalah penulisan ijazah (sanad) yang ditashih langsung oleh Syekh, kemudian disahkan melalui marāsim, upacara pemberian ijazah yang sangat sakral. “Setiap tahapan penuh tantangan. Tapi kalau kita tekun dan sabar, semua bisa dijalani,” ucap Adillah.

Makna Mendalam Sebuah Sanad
Bagi Adillah, sanad kaligrafi bukan hanya pengakuan keilmuan, melainkan juga penanda identitas. “Sanad adalah penjaga otoritas keilmuan dan bukti bahwa kita memiliki ‘nasab’ intelektual yang jelas dalam bidang ini. Saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari mata rantai tersebut.”
Sanad menjadi bekal moral dan spiritual untuk melangkah lebih jauh dalam dunia dakwah berbasis seni. Ia mengaku ingin terus belajar, mengajar, dan berkarya melalui kaligrafi.
“Ilmu itu bukan untuk disimpan, tapi untuk disebarkan,” ungkap Adillah. Ia berharap dapat berperan sebagai penerus yang menghidupkan seni kaligrafi di tengah masyarakat, terutama generasi muda. Lewat karya dan pengajaran, ia ingin membuat kaligrafi bukan hanya terlihat indah, tetapi juga terasa bermakna dan menyentuh hati.
Adillah berpesan, “Jangan takut untuk mencoba. Kaligrafi itu bukan soal bakat, tapi soal kemauan dan kesabaran. Di balik setiap goresan tinta, ada hikmah dan pelajaran hidup yang bisa kita ambil.”
Kisah Adillah Zahra menunjukkan bahwa ketekunan, kesabaran, dan rasa syukur bisa melahirkan prestasi yang tak hanya berdampak pribadi, tapi juga bernilai spiritual dan sosial. Melalui tinta dan pena, ia menapaki jalan panjang para ulama khath, menyambung sanad keilmuan yang insya Allah akan terus hidup melalui generasi penerusnya. Semoga semangat dan karya Adillah menjadi inspirasi bagi mahasiswa IDAQU dan seluruh generasi Qur’ani untuk menekuni keindahan warisan Islam, baik dalam bentuk hafalan, pemahaman, maupun seni kaligrafi yang luhur.