Salah satu keajaiban, sekaligus anugerah terbesar yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala karuniakan kepada anak Adam, adalah kemampuan adaptasi hidung. Kita panjatkan syukur kehadirat-Nya karena ia menjadikan hidung ini kalis terhadap bau diri kita sendiri. Menurut sebuah riset, 80% orang yang mengalami bau badan, tidak bakal menyadari bahwa dirinya bau, apalagi merasa terganggu.
Hidung kita memiliki daya adaptif amat luar biasa, sehingga betapapun rongsok, betapapun anyir aroma yang keluar dari diri kita, hidung ini bakal menegasikan itu semua dan mengirimkan sinyal ke otak bahwa kita baik-baik saja.
Namun berbeda ceritanya, ketika bau itu bersumber dari orang lain. Kita bakal segera menjelma detektif, kalo perlu sambil mengepalkan tinju untuk mencari sumber dari bau tersebut.
Narasi diatas dari metafora hidung barusan. Bahwasanya kita memang sulit untuk melihat kesalahan diri sendiri, tapi sangat mudah dalam mencari-cari kesalahan orang lain.
Benarlah apa yang pernah dikatakan Anas bin Malik ra.:
طُوبى لمن شغله عيبُه عن عيوب الناس
“Sungguh beruntung orang yang sibuk membenahi aibnya sendiri, sehingga ia tidak ada lagi waktu untuk meneliti aib orang lain”.
Karena bukan hanya hidung, tapi semua panca indera kita memang cenderung meneropong semut di tengah lautan, daripada gajah yang ada di depan mata.
Tentunya, setelah pabrik seperti ini bukan tanpa hikmah. Andai semua manusia selalu diingatkan, atau selalu ditajamkan penciumannya terhadap kebusukan dirinya sendiri, niscaya dunia ini tidak akan mengenal figure atau tokoh yang mau membincang moral.
Karena tiap kali ia mau mengutarakan nasihat, rasa rendah diri dan tidak pantas itu akan selalu membayangkannya. Puncaknya, barangkali kita tidak akan ada yang mau menjadi ustadz, kyai, guru, dosen atau profesi apapun yang menuntut mereka untuk menjadi Kompas moral bagi orang lain.
رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً
Sungguh tidak ada satupun yang Allah ciptakan di dunia ini demi Kesia-siaan.
Subjektifnya hidung manusia tadi, masih diperparah lagi dengan pikiran yang tidak adil. Hidung kita mengendus beberapa sumber bau, tapi karena kita tidak fair, kita hanya akan merasa terganggu dengan salah satunya dan abai terhadap yang lain.
Dengan mengutip dari salah satu ceramah Gus Baha, dan Gus Baha mengutip dari Syaikh Abul Hasan Asy-syadzili: Beliau menyatakan bahwa: manusia itu pecundang, karena dalam membenci maksiat pun, mereka gagal dalam berlaku adil.
Ketika kita marah luar biasa terhadap satu kesalahan, sejatinya kita tidak benar-benar marah terhadap kesalahan tersebut. Kita marah, karena kebetulan orang yang melakukan kesalahan itu juga orang yg tidak kita suka.
Kalo ada kawan kita bertamu ke rumah, kemudian ia memecahkan gelas, kita boleh jadi kesal atau marah, tapi andai yang memecahkan gelas itu adalah calon mertua kita, atau atasan kita di kantor, apakah kita masih bisa marah? Belum tentu.
Dalam satu pertemuan penting, ada yang datang terlambat, kita boleh jadi marah, tapi andai yang terlambat itu adalah orang yang menghutangi kita, atau HRD yang akan mewawancarai kita, apakah kita masih mau marah? Belum tentu.
Maka PR untuk bersikap adil ini memang pelajaran seumur hidup, selama kita menjadi manusia. Dalam khazanah ilmu hadis “prediket” adalah merupakan kasta tertinggi yang mewakili semua predikat baik. Syarat yang harus dipenuhi seorang perawi hadis sejatinya hanya 2: dabht, yakni kuat hafalannya, dan adil, yaitu sifat yang menjadi simbol semua kebaikan.
Dia mampu berlaku adil terhadap sabda-sabda kenabian, tapi apakah dia juga bersikap yang sama terhadap informasi lain?
Dia mampu berlaku adil kepada keluarga, tapi sudahkah ia berlaku adil juga terhadap orang asing?
Dengan meminjam ungkapan Pram dalam novel Bumi Manusia “Dia yang sudah adil dalam perbuatan, sudahkan berlaku adil juga dalam pikiran?”